polemik sastra

Polemik Sastra

Ternyata polemik dalam dunia sastra di Indonesia masih cukup menonjol. Hal itu nampak ketika saya menghadiri JiLfest (Jakarta International Literature Festival). Semua pembicara yang hadir hampir keseluruhan dengan keras menyudutkan kelompok sastra tertentu, yaitu kelompok Utan Kayu.

Pembicara juga dari beberapa peneliti sastra Indonesia dari berbagai negara seperti Jerman, Prancis, dan Portugal. Kritikan diberikan pada dominasi kelompok Utan Kayu dalam peraihan Nobel yang dianggap hanya permainan politik belaka.

Beberapa indikator disebutkan dengan jelas bahwa pemberian itu hanyalah permainan. Seperti bahwa kelompok ini bisa menebak sebulan sebelum keputusan siapa penerimanya. Dan bagaimana tanggapan ahli dari Indonesia adalah orang Utan Kayu sendiri untuk nominasi orang Utan Kayu.

Gunawan Muhammad sebagai penggede di Utan Kayu bahkan di tabloid yang dibagikan mendpat penghinaan yang sangat keras meskipun indah karena ditulis oleh sastrawan. Seperti nama Gunawan Muhammad yang disingkat dengan GM, diperpanjang menjadi Gundul Monyet.

Penelusuran saya lalu sampai pada polemik sastra Indonesia dulu antara Lekra dan Manikebu. Pada tahun 1965, dinas P & K setelah kehancuran PKI sebagai induk Lekra mencabut larangan penulisan kepada sastrawan penandatangan Manikebu dan melarang 80 lebih sastrawan Lekra untuk berkarya.

Hal itu mengindikasikan bahwa sebenarnya penguasa sebelumnya, yaitu Sukarno, juga membela Lekra dan melakukan pelarangan pada sastrawan Manikebu. Hubungannya dengan polemik yang saya ketahui di Jilfest itu adalah bahwa Gunawan Muhammad sebagai penggede Utan Kayu adalah salah satu penandatangan Manikebu.

Dan sastrawan penyelenggara dan yang hadir di JiLfest begitu membanggakan Pramoedya Ananta Toer (salah seorang tokoh Lekra) yang hanya menjadi nominasi berkali-kali peraih nobel,tapi tidak pernah meraihnya sama sekali. Itu dianggap dan ditunjukkan indikatornya karena politik yang dilakukan kelompok Utan Kayu. Karena Pram adalah salah satu sastrawan Lekra yang bermusuhan dengan Manikebu.

Kelihatannya memang terlalu jauh menghubungan polemik lama itu dengan saat ini yang sudah tidak mempunyai kondisi budaya, politik, dan kekuasaan yang sama. Hal ini didukung dengan salah satu sastrawan yang datang di JiLfest, menolak tesis buku bahwa Lekra Tidak Membakar Buku. Orang ini adalah Saut Situmorang, anda bisa lihat di Notenya di FB.

Meskipun begitu, Saut tetap beraliran kiri dalam hal ekonomi dan menentang habis neo-liberal yang saat ini didukung diam-diam oleh Utan Kayu. Hal itu bisa dilihat dari kedekatan orang-orang Utan Kayu dengan wapres Budiono yang dianggap sebagai biang neo-lib di Indonesia.

cerita Sang Hidup

Cerita Sang Hidup

Tempat itu nampak sepi. Hanya beberapa anjing kelaparan, penjual bunga keliling, dan angin berbisik yang menyejukkan. Tembok-tembok rumah berwarna putih, kotak, rata, dan tak berperasaan, memenuhi komplek itu. Suara bising lalu lintas di dekatnya terkadang sayup-sayup terdengar.

Perbincangan antara angin biru dan burung nuri dampak begitu akrab, bahkan membuat kepala manusia menoleh, berhenti sebentar, lalu tersenyum atau kembali tak acuh. Sebuah pikiran dan indera penghuni tempat itu seperti melirikkan mata hatinya ke tempat lain yang kelihatan gelap.

Dia murung, melayang sepenggal ayunan angin ke luar komplek, melihat dunia luar yang menjadi terang dengan kehadirannya. Tapi dia tetap murung. Bentuk bulat pelik pikirannya nampak hitam, membiru. Matanya sayu, tak melihat kecuali sekejap dengan kesedihan dan kadang bibir yang tersenyum saat mata itu kembali terpejam dengan kepala menunduk.

Burung-burung sesaat mengelilinginya, yang berwarna hitam itu ingin membunuhnya karena melihat kemurungannya, tapi tak bisa. Sang Hidup itu kekal dalam ketak-bergairahan, ingin jatuh ke tanah dan meleburkannya dirinya dengan kesuburan atau hilang lenyap tak membekas.

Angin dengarkan keluh kesahnya!

Hidup tak membuatnya menyerah

Meski kadang nampak aneh.

Tapi hanya ngGa’ mood

pelarang buku

Pelarangan Buku

Pengantar

Dengung pelarangan buku untuk beredar sempat menghenyakkan pikiran seorang pelajar seperti saya. Bagaimana mungkin sebuah buku dilarang, padahal saya sibuk mencari argumen pembanding di setiap ide yang nampak mapan dan kuat. Karena itu adalah tantangan bagi saya sebagai seorang mahasiswa atau penyuka ilmu pada umumnya.

Runtut punya runtut, ternyata di masa reformasi ini masih telah terjadi beberapa kali pelarangan buku oleh pemerintah. Sebenarnya saya dulu (dizaman SBY)telah mendengar pernah ada pelarangan dan pembatalan buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah karena tidak mencantumkan ‘PKI’ dibelakang kata G 30/S dan buku pelajaran lain karena tidak mencantumkan peristiwa Madiun.

Saya tidak habis pikir kenapa buku dilarang. Secara naluri sebagai manusia yang mempunyai rasa ingin tahu, hal itu malah menimbulkan kecurigaan. Kenapa kalau buku itu tidak memuat hal yang penting dan kuat bisa dilarang?

Hukum

Kebijakan pelarangan buku oleh Jaksa Agung mengikuti Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1963 tanggal 23 April 1963 tentang pengamanan barang-barang cetakan yang isisnya dapat mengganggu ketertiban umum. Sebagaimana telah ditetapkan Penpres itu sebagai UU No. 5 Tahun 1969 tanggal 5 Juli 1969 tentang pernyataan Penetapan Presiden sebagai Undang-Undang.

Pasal 1 dari Penetapan Presiden tersebut berbunyi “menteri Jaksa Agung berwenang untuk melarang beredarnya barang cetakan yang DIANGGAP dapat mengganggu ketertiban umum.” Pemilihan kata dinggap adalah tidak jelas. Karena anggapan itu berdasarkan indikator yang belum ada penjelasan dan siapa yang memiliki otoritas menetapkan anggapan itu.

Sebenarnya UU No 4 Tahun 1963 itu tidak relevan dengan konteks sekarang setelah UUD 1945 diamandemen tentang hak memperoleh informasi  Pasal 28 F UUD 1945, juga UU 14 No. 39 Tahun 1999. Begitu pula ratifikasi Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik melalui UU No. 12 Tahun 2005.

Tapi kenapa UU 1963 itu tetap berlaku, padahal secara struktur gaya kepemimpinan, UU itu Cuma berhasil apabila didukung penguasa yang otoriter yang telah dihancurkan melalui reformasi 98.

Mengingat juga bahwa Penetapan Presiden NO. 4 Tahun 1963 itu muncul dalam keadaan darurat perang yang dinyatakan presiden saat itu.

Refleksi

Dalam prakteknya juga, pelarangan buku untuk melarang informasi dan pemikiran itu tidak berjalan. Kita bisa melihat bagaimana buku Pramoedya Ananta Toer tetap bisa dinikmati sekarang adalah contoh konkrit.

Buku-buku yang biasanya dilarang adalah buku tentang menguakbukti sejarah lain yang berbeda dengan versi penguasa, buku tentang ajaran agama yang dianggap melenceng, dan buku yang dianggap porno.

Buku tentang sejarah tentu seharusnya penyelidikan dan cerita dari berbagai pihak harus didengar. Karena cara orang membaca sebuah kejadian tentu berbeda. Apalagi kalau dari kelompok yang bermusuhan.

Buku agama yang dianggap melenceng sangatlah kental dengan pemerkosaan mayoritas terhadap minoritas yang menjadi makanan empuk bagi penguasa untuk menyogok mayoritas demi nilai timbal balik dukungan kekuasaannya.

Buku yang jelek dan ditulis tanpa metode atau tidak dalam keahliannya tentu akan hilang dengan sendirinya bila tidak diterima akal. Dan manuisa tentu bukanlah robot, manusia bisa memilah.

Akhir

Penegtahuan adalah hal yang sangat mudah untuk dinikmati oleh semua golongan, bukan seperti mobil. Lalu apabila hal itu dilarang, apalagi yang tersisa untuk manusia sebagai manusia?

Beberapa orang telah berusaha melakukan judicial review atas UU No. 4 Tahun 1963 itu. Semoga niat yang mulia itu berhasil.

polemik sastra Indo

Polemik Sastra

Ternyata polemik dalam dunia sastra di Indonesia masih cukup menonjol. Hal itu nampak ketika saya menghadiri JiLfest (Jakarta International Literatre Festival). Semua pembicara yang hadir hampir keseluruhan dengan keras menyudutkan kelompok sastra tertentu, yaitu kelompok Utan Kayu.

Pembicara juga dari beberapa peneliti sastra Indonesia dari beberapa negara seperti Jerman, Prancis, dan Portugal. Kritikan diberikan pada dominasi kelompok Utan Kayu dalam peraihan Nobel yang dianggap hanya permainan politik belaka.

Beberapa indikator disebutkan dengan jelas bahwa pemberian itu hanyalah permainan. Seperti bahwa kelompok ini bisa menebak sebulan sebelum keputusan siapa penerimanya dan bagaimana tanggapan ahli dari Indonesia adalah orang Utan Kayu sendiri untuk nominasi orang Utan Kayu.

Gunawan Muhammad sebagai penggede di Utan Kayu bahkan di tabloid yang dibagikan mendpat penghinaan yang sangat keras meskipun indah karena ditulis oleh sastrawan.

Penelusuran saya lalu sampai pada polemik sastra Indonesia dulu antara Lekra dan Manikebu. Pada tahun 1965, dinas P & K setelah kehancuran PKI sebagai induk Lekra mencabut larangan penulisan kepada sastrawan penandatangan Manikebu dan melarang 80 lebih sastrawan Lekra untuk berkarya.

Hal itu mengindikasikan bahwa sebenarnya penuasa sebelumnya, yaitu Sukarno, juga membela Lekra dan melakukan pelarangan pada sastrawan Manikebu. Hubungannya dengan polemik yang saya ketahui di Jilfest itu adalah bahwa Gunawan Muhammad sebagai penggede Utan Kayu adalah salah satu penandatangan Manikebu.

Dan sastrawan penyelenggara dan yang hadir di JiLfest begitu membanggakan Pramoedya Ananta Toer yang hanya menjadi nominasi berkali-kali peraih nobel,tapi tidak pernah meraihnya sma sekali. Itu dianggap dan ditunjukkan indikatornya karena politik yang dilakukan kelompok Utan Kayu. Karena Pram adalah salah satu sastrawan Lekra yang bermusuhan dengan Manikebu.

Kelihatannya memang terlalu jauh menghubungan polemik lama itu dengan saat ini yang sudah tidak mempunyai kondisi budaya, politik, dan kekuasaan yang sama. Hal ini didukung dengan salah satu sastrawan yang datang di JiLfest menolak tesis buku bahwa Lekra Tidak Membakar Buku. Orang ini adalah Saut Situmorang, anda bisa lihat di Notenya di FB. Meskipun begitu, Saut tetap beraliran kiri dalam hal ekonomi dan menentang habis neo-liberal yang saat ini didukung diam-diam oleh Utan Kayu. Hal itu bisa dilihat dari kedekatan orang-orang Utan Kayu dengan wapres Budiono yang dianggap sebagai biang neo-lib di Indonesia.