I’m indonesia and this kind of report is not found in my country

Qunfuz

Update: Syria’s tame mufti Hassoun has said there is no truth to the news which I repeat below, that Buti, Hassoun and other clerics met with the minister of Awqaf and decided to cancel taraweeh prayers. I heard the false report from someone in Syria. Obviously a rumour was circulating.

When I lived in Syria in the 1990s people would speak very respectfully about Shaikh Sa’id Ramadan al-Buti, a Damascus-based cleric and a traditionalist. I could never quite understand why. I attended his mosque once after an American bombing run on sanctions-starved Iraq; on that occasion Buti blamed the deaths in Iraq on ‘a lack of love between the Muslims.’ Perhaps some of the congregation imagined this was a veiled criticism of the Arab leaders. People called al-Buti honest and fearless.

I had a conversation with someone who taught archeology at Damascus University. This academic arranged a debate on human…

Lihat pos aslinya 711 kata lagi

Ontologi: Perbandingan Sadrian-Asy’ariyahan

Wujud: Perbandingan antara Sadrian – Asy’ariyyah

Hal yang perlu diperhatikan sebelum perbandingan ini dilakukan adalah bahwa titik tolak pembahasan di ke-2 aliran itu berbeda. Sehingga perbandingan atas suatu ide dari salah satu aliran, sering mengharuskan penggalian konsekuensi tersirat dari suatu pembahasan lain dalam aliran yang lain. Dan dalam tulisan ini saya mengambil Sadrian sebagai titik tolak pembahasan saya, sehingga pencarian makna tersirat akan lebih banyak terjadi di Asy’ariyyah. Alasannya simple, karena Sadrian yang lebih dikenal bernuansa filosofis –meski tidak berarti Asy’ariyyah tidak filosofis-. Ditambah lagi karena saat ini saya lebih sering bergaul dengan Sadrian.

–          Definisi

  • Sadrian

Wujud menurut aliran Sadrian tak-terdefinisikan (bisa dilihat di Bidayat al-Hikmah oleh Allamah Thabathabai hlm: 11, dan buku Al Masya’ir tulisan Mulla Sadra sendiri, hlm: 57). Mengetahuinya hanya bisa melalui Ilmu Hudluri (buku Al Masya’ir), merasakan langsung Wujud. Sedangkan definisi secara Logika Formal menjauh dari hal itu.

  • Asy’ariyyah

Pembahasan definisi tidak menjadi pembahasan utama di Asy’ariyyah. Jadi saya –sampai saat ini- hanya bisa menemukan definisi Wujud dari Fakhruddin Ar-Razi dalam Tafsir Kabirnya jilid: 1, hlm: 125-126, cet. Dar al-Fikri, th. 1993, Lebanon. Disitu disebutkan bahwa Wujud memiliki dua makna: – makna yg terdapat dalam Al-Quran bentuk verbalnya, yaitu makna, الوجدان و الادراك و الشعور, merasa/mengetahui/menemukan. Ayat yg menunjukkan makna itu adalah, لوجدوا الله. – makna yg ke-2 tidak terdapat dalam Al-Quran tapi lebih dekat dengan makna dalam pembahasan filosofis Sadrian, yaitu makna: الثبوت  و الحصول و التحقق في نفسه, tetap/terdapat/nyata dalam dirinya. Makna atau definisi Wujud dengan kata-kata lain seperti yang dilakukan Fakhruddin Ar-Razi ini disebut ta’rif lafzi dan bukan pendifinisian yang dipakai dalam Logika Formal, yaitu: ta’rif dan rasm

Jadi kelihatannya Asy’ariyah melalui Fakhruddin Ar-Razi dengan definisi lafzi-nya juga secara implisit mengatakan tak-dedefinisikannya Wujud secara Logika Formal dengan aturan-aturannya. Jadi –menurut saya- tidak ada perbedaan antara Sadrian dan Asy’ariyyah kecuali pernyataan secara tersurat dan tersirat saja tentang definisi Wujud ini.

–          Hubungan Wujud dengan Mahiyah/Esensi

  • Sadrian

Wujud dalam Sadrian dikatakan sebagai, زائد علي الماهية, lebih/berbeda atas Esensi (Bidayat:13, Catatan kaki dari Ushul al Falsafah wa al-Manhaj al Waqi’i, oleh Murtaza Muthahhari, diterjemahkan ke bahasa Arab oleh Ammar Abu Raghif, jilid:2, hlm 43, dan Harakat al Fikri al Falsafi fi al Islam oleh Ghulam Husein Ibrahim Dinani, jilid 2, hlm: 266). Makna ziyadah/lebih (زيادة, dari kata زائد diatas) dalam masalah ini menurut Sadrian sebagaimana disebutkan dalam buku Bidayat Al Hikmah hlm: 13, adalah, أنّ المفهوم من احدهما غير المفهوم من الآخر, konsep/makna satu dengan yang lain berbeda. Jadi yang dimaksud dari pernyataan bahwa Wujud itu lebih atas Esensi adalah perbedaan makna Wujud dan Esensi.

  • Asy’ariyyah

Hubungan Wujud dan Mahiyah dalam masalah ziyadah diatas bukan pembahasan utama di Asy’ariiyah. Tapi merupakan turunan dari pembahasan tentang, مجعولية الماهية, Esensi sebagai efek dr yang lain. Pembahasan ini disebutkan dalam Hasyiyah (catatan kaki) oleh Abdurrohman Asy-Syirbini atas Jam’ul Jawami-nya Tajuddin As-Subki, jilid:2 hlm: 413-414, bahwa Wujud itu bukan sesuatu yang lebih atas Esensi, الوجود لا يكون زائدا علي الماهية. Pendapat ini didasarkan atas pendapat bahwa Esensi yang yang mungkin itu efek dari sesuatu yang lain, sehingga Wujud hanyalah sebuah abstraksi (انتزاعي) akal. Karena Esensi sebelum mewujud itu tak-ada (عدم, dalam hasyiyah tadi hlm: 414 disebutkan bahwa ke-adam/tak-ada-an Esensi sebelum ada di dunia luar mental, itu bukan lah hal yang perlu dipermasalahkan). Ini berbeda dengan Sadrian yang mengatakan bahwa Esensi sebelum bertemu Wujud itu bukan Wujud atau ‘Adam (Bidayat al Hikmah, hlm: 60-61)

Tapi yang perlu diperhatikan adalah bahwa Asy’ariyyah berbeda dengan Sadrian dalam mendefinisikan ziyadah itu. Dalam pembahasan yang didasarkan pada penerimaan Asy’ariyyah atas Maj’uliyyatul Mahiyah tadi, Asy’ariyyah berpendapat bahwa Wujud itu ‘ainusy-syai’, Wujud itu benda itu sendiri. Pendapat itu berarti, الوجود لا يكون زائدا علي عين الشيء, Wujud bukan lebih dari sesuatu itu sendiri. Syribini dalam catatan kakinya menjelaskan bahwa dengan penjelasan ziyadah ini jelas bahwa bukan berarti konsep (mafhum) Wujud sama dengan konsep Esensi.

Makna ziyadah Wujud atas Esensi ini saya dapatkan secara tersirat dari Asy’ariyyah. Dan proses saya mendapatkan makna itu ada dua, pertama urutannya sebagai berikut:

  1. Esensi yang mungkin sebagai efek hal yang lain (مجعوليّة الماهيات الممكنة), menjadi dasar konsep
  2. Wujud sesuatu adalah diri sesuatu itu (وجود الشيئ عينه), yang dijelaskan dengan
  3. Wujud bukan lebih atas sesuatu (الوجود لا يكون زائدا علي الشيئ), yang memperjelas makna ‘ainiyyah yang diperjelas dengan
  4. Maksud ‘ainiyyah itu bukan persamaan konsep karena konsep Wujud dan Sesuatu jelas berbeda, juga bukan persamaan dalam denotasi karena denotasi kata Seseuatu itu hal yang berada di luar mental, sedangkan denotasi kata Wujud itu hal yang bersifat mental dan cerapan  (ليس معني العينيّة الإتّحاد في المفهوم لاختلاف المفهومين قطعا,ولا في الما صدق لان ما صدق عليه الشيئ امر خارجيّ و ما صدق عليه الوجود أمر ذهنيّ انتزاعيّ)

Urutan proses ke-2 lebih pendek, sebagai berikut:

  1. Hubungan antara Wujud dan Esensi  الوجود لا يكون زائدا علي الماهية (Syirbini, jilid 2,hlm. 413)
  2. Hubungan antara Wujud dan Syai’ الوجود لا يكون زائدا علي الشيء (Jam’ul Jawami’ jlid 2, hlm.424)
  3. Definisi Esensi yg menjadikannya erat hubungnnya dengan Syai’. Definisi tersebut adalah: الماهية بمعني ما به الشيء (syirbini, jilid 2, hlm. 413)
  4. Makna ziyadah oleh Syirbini yang telah disebutkan dalam proses pertama diatas.

Lalu saya menyatakan bahwa makna ziyadah dalam hubungan Wujud dan Esensi di pendapat Sadrian dan Asy’ariyyah yang terlihat kontradiksi (afirmasi dan negasi) dalam kata-kata ternyata beda dalam konsepnya. Sehingga perbedaan konsep dari kata ziyadah yang dinegasikan oleh Asy’ariyyah dan diafirmasi oleh Sadrian menyebabkan Asy’ariyyah tidak menegasikan pendapat Sadrian secara konseptual.

–          Wujud sebagai yg Asli

  • Sadrian

Menurut Dinani dalam Harakat, konsep ziyadat al wujud ‘ala al mahiyah diatas menghasilkan konsep yang menjadi dasar Filsafat Sadrian yaitu konsep, أصالة الوجود, Wujud sebagai yang asli. Karena konsep Esensi dan Wujud dengan denotasi (misdaq) real yang hanya satu memunculkan pertanyaan: Konsep mana yang sebenarnya mempunyai denotasi dalam dunia luar mental? Ketika Sadrian menjawab: Wujud adalah yang memiliki denotasi di dunia luar itu, maka muncullah konsep; Wujud sebagai yang asli tersebut. Maksud dari asli/asholah adalah Nyata dan berada di luar mental (Ushul al Falsafah jilid 2, hlm. 44-45) dan hal yang memberikan efek (ta’liqot buku Nihayat al Hikmahnya Allamah Thabathabai oleh Taqi Misbah Yazdi dalam pembahasan asholat al wujud)

Perlu diketahui sebelumnya bahwa pembicaraan mengenai hal ini secara tersurat diawali oleh Mulla Sadra (Dinani dalam Harakat jilid 2, hlm. 267) dengan pilihnnya Wujud sebagai yang asli. Jadi membandingkannya kepada pemikir sebelumnya hanya diambilkan dari pendapat tersirat, kecuali perbandingan kepada Syaikh al Isyraq, Suhrowardi, yang memberikan argumen atas ke-tak-aslian (i’tibariyyah) konsep Wujud.

Menurut Muthahhari dalam Catatan kaki atas Ushul al Falsafah jilid 2, hlm.44-53, untuk memberikan argumen atas pernyataan Wujud sebagai yang asli, diperlukan beberapa pemahaman atas beberapa pernyataan lain, yaitu:

  1. Pemahaman atas makna Asli (asholah) dengan yang nyata. Dan pengertian bahwa kata Wujud dan Esensi itu setara, yaitu bersifat mental. Meski pembahasannya mengarah ke ‘apakah yang nyata di luar mental’.
  2. Pembenaran (tashdiq) pada prinsip ‘Kenyataan’, yang merupakan self-efiden.
  3. Ketidak-mungkinan Wujud dan Esensi, masing-masing, memiliki denotasi nyata di luar mental, tapi ke-dua-nya membentuk satu realitas di luar mental.
  4. Ketidak-mungkinan ke-dua-duanya tidak menunjuk realitas apapun di luar mental.
  5. Karena Esensi dalam dirinya mungkin untuk berpredikat ada dan tiada dan Wujud tidak mungkin berpredikat tiada, maka terciptalah pernyataan Wujud sebagai yang asli.

Dinani dalam dalam Harakah jilid:2, hlm: 266, menyatakan hal sama tapi dengan jumlah yang hanya 3, yaitu:

  1. Iman pada realitas nyata dunia luar
  2. Berpendapat bahwa kata Wujud itu univokal/mempunyai satu arti meski ditujukan pada berbagai hal
  3. Berpendapat bahwa Wujud itu lebih (ziyadah) atas Esensi. Maksudnya konsep ke-2nya berbeda.

Di halaman berikutnya Dinani menyebutkan bahwa beberapa tokoh filosof setelah Mulla Sadra ada yang menolak ide aholat al wujud dan membela asholat al mahiyah. Diantaranya adalah  menantu sekaligus murid Mulla Sadra, Abdurrozzaq Al-Lahiji yang berjuluk Al Fayyadl, Syaikh Rajab Ali Al-Tibrizi, murid Mulla Sadra, dan Al Qodli Said al Qummi, murid dari tiga murid Mulla Sadra, dua didepan dan Mulla Muhsin al Faidl Kasyani (hubungan tiga orang yang berbeda dengan Mulla Sadra ini dijelaskan dalam Harakat jilid 2, hlm: 487-488.)

  • Asy’ariyyah

Pembahasan asholat al wujud dalam Asy’ariyyah –sebagaiman dalam filosof atau aliran filsafat sebelum Mulla Sadra- merupakan hal yang tidak dinyatakan secara jelas. Tapi dari penjelasan diatas, yaitu bahwa Asy’ariyyah berpendapat bahwa Wujud itu hanyalah konsep yang dicerap oleh akal (انتزاعي و ذهني محض و من المعقولات الثانية, Hasyiyah Syirbini atas JJ jilid 2, hlm: 413-414 dan 424), maka dengan melihat makna lawan dari asholah dalam Ushul al Falsafah jilid:2, hlm.: 44-45 oleh Murtaza Muthahhari dengan i’tibari w zihni (اعتباري و ذهني), kita bisa mengatakan bahwa Asy’ariyyah tidak berpendapat asholat al wujud.

Lalu apakah berarti Asy’ariyyah berpendapat asholat al mahiyah? Kemungkinannya menjadi lebih besar apabila kita membaca bahwa konsep Wujud  dicerap/diabstarksi dari realitas luar mental yang  diberi nama Sesuatu (شيء) dan Esensi (Mahiyah) diartikan sebagai, hal yang menyebabkan sesuatu (ما به الشيء).

Dan argumen yang disampaikan memang nampak bertolak belakang sebagaimana disebutkan oleh Murtaza Muthahhari dalam Ushul (Sadrian) dan oleh Syirbini dalam Hasyiyah JJ (Asy’ariyyah). Sebagai berikut:

  1. Murtaza Muthahhari dalam Ushul jilid: 2, hlm.: 54 setelah memberi pernyataan bahwa Esensi pada dirinya itu bisa tiada dan ada, menyatakan bahwa Wujud itu tidak mungkin tiada. Karena Wujud itu adalah realitas sesuatu yang ada dan diluar mental (الوجود عين الخارجية و الواقعية و الموجودية).
  2. Syirbini dengan Hasyiyahnya jilid:2, hlm.: 424, menyatakan bahwa ketika Sesuatu itu ditangkap akal maka akal mencerap/mengabstraksi makna Wujud sebagai hal yang melebihi realitas nyata Sesuatu tersebut. Indahnya, seperti menjawab pernyataan Muthohhari, Syirbini menyatakan bahwa dengan pernytaannya diatas tidak berarti bahwa Maujud itu tidak maujud di luar mental tapi konsekuensi mengatakan Wujud adalah cerapan akal adalah bahwa Wujud itu tidak Maujud di luar mental. Singkatnya –kata Syirbini- dunia luar mental itu merupakan tempat bagi Diri Wujud bukan bagi keberadaan Wujud (teks bahasa Arabnya: و لا يلزم من هذاان لا يكون الموجود موجودا خارجا بل اللازم ان لا يكون الوجود موجودا خارجا. و حاصله ان الخارج ظرف لنفس الوجود لا لوجوده  .) –saya seperti mendapatkan emas….karena pernyataan Syirbini inilah yang melayang-layang di otak saya tanpa mampu keluar secara verbal J-

Meskipun begitu, menurut pemahaman saya, terjadi perbedaan pendapat hanya dalam kata-kata saja tapi tidak dalam konsep. Karena yang dimaksud oleh Sadrian dengan Wujud adalah ‘ainul khorijiyyah wa al maujudiyyah, dunia luar dan maujud itu sendiri. Sedangkan Asy’ariyyah mengatakan bahwa dunia luar itu bukan Wujud tapi Maujud/Syai’/Nafs al Amr. Ini mengingatkan saya pada pernyataan Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara –guru besar filsafat Islam di UIN Syarif Jakarta- bahwa Mulla Sadra berkata: Apa yang dimaksud oleh Syaikh al Isyroq dengan Mahiyah –yang dikatakan sebagai yang asli- adalah Wujud yang Aku –Mulla Sadra- maksudkan. Menurut Mulla Sadra yang ditunjuk oleh Suhrowardi itu adalah Wujud bukan Mahiyah, Suhrowardi salah memahami. Tapi saya belum bisa mengkonfirmasi dari mana Prof. Mulyadhi mendapatkan perkataan Mulla Sadra tersebut. Kalau memang benar, pernyataan Mulla Sadra mungkin bisa diletakkan pada Asy’ariyyah juga.

Tidak aneh menurut saya kenapa Mulla Sadra mengganti istilah Maujud untuk apa yang di dunia luar mental dengan istilah Wujud. Karena pengaruh Ibn Arabi atau tasawuf secara umum yang kental pada Mulla Sadra sebagaimana diakui oleh Dinani. Sebagaimana juga diakui oleh Toshihiko Izutsu dalam antologinya Creation and the Timeless Order of Things: Essays in Islamic Mystical Philosophy dalam esai yang berjudul An Analysis of Wahdat al Wujud: Toward a Metaphilosophy of Oreintal Philosophies. Izutsu menyatakan bahwa pembahasan filsafat Islam berubah haluan dari Maujud –mengikuti Aristotelian, seperti Al Kindi, Al farabi, ibn Sina, dan Ibn Rusyd- ke Wujud setelah pengalaman spiritual oleh Ibn Arabi. Dan tidak diragukan lagi pengaruh Ibn Arabi pada Mulla Sadra. Dan sebelum Ibn Arabi, Wujud hanya dibahasa secara aksiden dan hanya sebagai inner constituent of existent, ei. Real thing that exist, dalam pernyataan Izutsu. Dan itu mirip dengan perkataan Syirbini bahwa dunia luar adalah tempat bagi Diri wujud (الخارج ظرف لنفس الوجود, Wujud sebagai inner constituent of existent dalam Izutsu.)

–          Denotasi kata Aku

  • Sadrian

Pembahasan tentang apa yang ditunjuk oleh kata Aku termasuk ada hubungannya dengan pembahasan Wujud, karena ada beberapa kesamaan antara Aku dan Wujud dalam Sadrian, yaitu: – hanya bisa dipahami dengan ilmu hudluri, – definisi hanya menjauhkan dari haketanya. Dalam Aku, berarti hal didefinisikan itu bukan lagi Aku, tapi Dia, – ke-dua-duanya disebut sebagai إنيّة محضة, sangat nyata dan tanpa Esensi, – tidak menerima keumuman dan ketidak-jelasan, – karenanya immateri dan tidak dalam ruang dan waktu sebagaimana Wujud yang pertama. (Dinani dalam Harakat jilid: 2, hlm.: 358-364)

  • Asy’ariyyah

Dalam Asy’ariyyah hal yang dirujuk oleh kata Aku adalah Tubuh tertentu yang meliputi jiwa yang ada didalamnya. Sampai saat ini saya belum menemukan penjelasan dari hal ini dalam Asy’ariyyah. Tapi dari pembicaraan tentang Wujud yang merujuk pada apa yang di luar mental dan Wujud merupakan cerapan akal, lalu Esensi sebagai hal yang ada dalam Sesuatu, maka bisa dipahami dalam Asy’ariyyah kata Aku mencakup Tubuh (sesuatu yang di luar mental dan Maujud) dan jiwa didalam Tubuh (Esensi).

Epistemologi Ghazali

Epistemologi dalam Ghazali

Epistemologi dianggap sebagai cabang terpenting dari filsafat karena filsafat adalah tentang pengetahuan, yang segala tetek-bengeknya dibahas dalam epistemologi. Sehingga cabang filsafat lain, sekalipun ontology tidak akan bisa diselesaikan sebelum permasalahan dalam epistemology diselesaikan.[1] Materi epistemologi sudah dibahas sejak Plato dan Aristo dengan Logikanya, dan baru menjadi pembahasan sistematis dan sentral abad 17 di Eropa oleh Leibniz dan John Lock.[2] Istilah epistemologi sendiri mulai masuk benua Eropa pertengahan abad 19.

Filosof Muslim sendiri tidak menjadikannya cabang filsafat tertentu kecuali setelah abad 20 oleh Ushul al Falsafah dan Falsafatuna. Meskipun demikian bukan berarti materi-materinya tidak dibahas sama sekali. Misbah Yazdi bahkan mengklaim bahwa Islam masih murni pembahasan materi epistemologinya dan belum dicampuri skeptisisme, terutama dalam pembahasan-pembahasan Mantiqnya dan beberapa dalam pembahasan filsafatnya.

Diantara pembahasan epistemologi ditingkat awal adalah: sumber, nilai (benar-salah), dan batas pengetahuan (origin, nature, limit)[3]. Dalam tulisan ini, akan ditelusuri 3 hal tersebut dalam pemikiran Ghazali.

Sumber Pengetahuan

Pengetahuan/ilmu menurut Ghazali tidak bisa didefinisikan (لا حدّ له)[4]. Tapi Dr. Sulaiman Dunya dalam catatan kakinya atas Mi’yar al ‘Ilm, ketika Ghazali mengatakan: إذ لا معني للعلم إلا مثال يحصل في النفس مطابق لما هو مثال له في الحس وهو المعلوم[5], bahwa itu adalah definisi Ghazali atas ilmu, sambil mengkritisi dengan: meskipun memasukkan kata indra, sebenarnya Ghazali mengakui obyek pengetahuan lain selain indra sebagaimana disebutkan di beberapa bukunya. Jadi semstinya, kata indra diganti dengan kata realitas.

Sebagaimana disebutkannya secara ringkas dalam Al-Munqidz min al-Dholal, bahwa pengetahuan yang bersifat yakin hanya ada 2: Mahsusat (indrawi) dan Dloruriyyat (logical necessities)[6]. Dalam Mi’yar al ‘Ilm, Ghazali menunjukkan juga bahwa maujudaat hubungannya dengan pengetahuan ada yang indrawi dan ada yang diketahui dengan argumen (rasio), dengan penjelasan bahwa hal-hal yang diketahui dengan rasio melalui efek-efek hal itu lebih banyak dari pada yang diketahui dengan indra.[7]

Di Al Mankhul disebutkan bahwa pengetahuan ada yang didapat tanpa perantara, seperti pengetahuan tentang diri dan sifat-sifatnya (senang, sedih, dll) dan ada pengetahuan yang menggunakan perantara: indra untuk obyek indrawi, akal untuk hal-hal rasional, dan adat yang berlaku seperti untuk memahami kata dan tanda keadaan (wajah merah untuk marah misalnya.[8])

Apabila keterangan dari 3 buku diatas digabungkan, maka ada 2 yang sama yaitu: indra dan rasio. Lalu Al Mankhul menambah 2 hal lain, yaitu: – pengetahuan tanpa antara (diri dan sifat-sifatnya), – pengetahuan melalui perantara adat (bahasa, dan tentang orang lain).

Timbul pertanyaan: Kalau memang Ghazali mempercayai akal sebagai media dan sumber ilmu kenapa dia menyerang filsafat yang terang-terang menggunakan akal?

Jawabnya: karena Ghazali menyerang kontradiksi yang terjadi atas ajaran-ajaran filsafat zaman itu dengan akal saja. Jadi menurutnya, filsafat telah berbelok dari kepastian-kepastian akal sendiri dengan melanggar aturan-aturan Logika (Mantiq) yang mereka buat sendiri. Dan filsafat saat itu telah menjangkau hal-hal yang sebenarnya menurut Ghazali bukan area akal, tapi area hati[9], yaitu bidang metafisika. Jadi pertempuran di Tahafut al Falasifah bisa dikatakan antara akal murni dan kepercayaan/dogma filosofis.

Pertumbuhan Pengetahuan

Menurut Ghazali, pemberi hukum (pengetahuan, حاكم او مدرك) ada 3: indra, wahm/khayal, dan akal. Akal atau pengetahuan yang didapat dari akal datang belakangan setelah indra dan wahm (khayal, penulis) dalam penciptaannya[10] karena itu manusia cenderung mengikuti indra dan wahm-nya, meskipun yang paling benar adalah akal. Dan indra lebih awal dari pada wahm/khayal[11].

Meskipun urutannya adalah indra, wahm/khayal, lalu akal, tapi akalah yang paling menuju ke kebenaran lalu disusul indra dan wahm/khayal cenderung menunjuk kebenaran yang berasal dari indra dan salah di hal-hal di luar indra[12].

Innate Ideas

Dr. Zaqzuq dalam Al Manhaj-nya memberi catatan kaki ketika mengutip pernyataan Ghazali di Ihya bahwa pengetahuan rasional terbagi menjadi 2: dloruri fithri (bersifat pasti benar dan innate/bawaan?) dan muktasab (didapat dengan berusaha melalui belajar dan argumen), bahwa jenis yang pertama ini berarti membedakan Ghazali dengan John Lock dengan Tabula rasa-nya[13].

Hal itu meskipun dia juga mengutip beberapa pernyataan Ghazali di Ihya’ dan beberapa bukunya yang lain, yang nampak kontra dengan pengakuan Ghazali akan adanya konsep/pengetahuan bawaan sejak lahir diciptakan oleh Allah.

Mari kita lihat sendiri wakil dari 2 kelompok pernyataan Ghazali yang nampak kontra itu:

Pendukung konsep-konsep dloruri adalah bawaan, misalnya Ihya’ jilid 3 hlm. 15:

–       وهي تنقسم الي ضرورية لا يدري من اين حصلت و كيف حصلت, كعلم الإنسان بان الشخص الواحد لا يكون حادثا قديما موجودا معدوما معا, فإن هذه علوم يجد الإنسان نفسه منذ الصبا مفطورا عليها, ولا يدري متي حصل له هذا العلم ولا من اين حصل له, اعني انه لا يدري له سببا فريبا و إلا فلا يخفي عليه أن الله هو الذي خلقه و هداه.

Menurut Zaqzuq pernyataan ‘Allah menciptanya/ أن الله هو الذي خلقه و هداه’ ini mengandung makna bahwa Allah jugalah yang menciptakan pengetahuan-pengetahuan dloruriyyah ini.

Pernyataan yang bertentangan diantaranya di Ihya’ jilid 3 hlm. 69:

–       و قلبه (اي الطفل) الطاهر جوهرة نفيسة ساذجة خالية عن كل نقش و صورة, وهو قابل لكل ما نقش و مائل الي كل ما يمال به اليه.

Menurut Zaqzuq, pernyataan seperti diatas hanya merupakan isyarat perkembangan jiwa/diri seorang anak, bukan tentang konsep-konsep dloruri.

Nampaknya –menurut penulis- lebih banyak pernyataan Ghazali yang mendukung bahwa dia tidak menyatakan adanya innate ideas. Diantaranya:

–       Definisinya atas akal di Al Mankhul hlm. 45 dengan: sifat yang dengannya orang bisa menemukan pengetahuan dan berfikir hal-hal rasional. Akal merupakan alat menemukan pengetahuan, berarti sebelumnya tak berpengetahuan, tidak ada ide bawaan.

–       Keterangan Ghazali tentang pengetahuan dloruri ini dalam Mi’yar al-‘Ilm hlm. 186-7, bahwa konsep kemustahilan kontradiksi yang dloruri itu (yang disebutkan sebagai contoh dalam Ihya’ dan dikasih predikat, diciptakan Allah melalui sebab jauh, secara tadlomun menurut Zaqzuq) termasuk dalam kelompok pengetahuan yang disebutnya dengan al awwaliyyat al aqliyyah al mahdloh, yaitu proposisi-proposisi yang terjadi pada manusia karena potensi akalnya saja, tanpa ada makna lain yang menjadikannya membenarkan proposisi-proposisi tadi. Tapi proposisi-proposisi tadi memiliki konsep-konsep sederhana yang apabila telah diterima akal –baik dengan perantara indra, imaginasi, atau yang lain- dan dijadikan proposisi, maka akal pasti membenarkannya Tanpa berpikir bagaimana dia mendapatkan pembenarannya, bahkan dia Merasa telah mengetahuinya Selamanya.

Jelaslah bahwa kemustahilan kontardiksi diatas didapat dari konsep sederhana dari hal diluar akal: indra, imajinasi, atau hal lain. Berarti bukan bawaan. Pernyataan ‘Tidak tahu darimana dan kapan’ dalam Ihya’ hanya perasaan saja untuk mengukuhkan bahwa kebenarannya adalah hal yang pasti diterima akal.

Lalu bagaimana dengan pernyataan bahwa ini Fithri (dalam Ihya’: منذ الصبا مفطورا عليها) ? Konsep fitri sebenarnya bukan berarti bawaan. Sebagaimana penjelasan Murtaza Muthahari di komentar atas Ushul al Falsafah (hlm. 327-8) bahwa kata fithrah memiliki 4 makna, yaitu pengetahuan yang:

A-    penolakan/penerimaannya sama semua manusia (seperti keberadaan dunia luar mental, dan kemustahilan kontradiksi, dalam Ushul jilid 2, maqolah 7),

B-    ada secara potensi di akal setiap orang (seperti ilmu-ilmu yang sudah didapat dengan ilm hudluri, pengetahuan tentang tuhan termasuk jenis ini),

C-    argumennya ada didalam dirinya (seperti dua itu setengah dari 4),

D-    hanya berdasarkan akal (innate/bawaan, menurut Sadrian tidak ada).

 

Kausalitas

Kausalitas dalam pandangan Ghazali dibahas tersendiri oleh Dr. Zaqzuq dari hlm. 141-146. Intinya bahwa kausalitas filosofis tetap dipercaya sebagai konsep yang benar bahkan menjadi dasar argumen keberadaan Tuhan. Seperti ketika Ghazali menulis sebagai orang yang mirip Asy’ariyyahan dalam buku teologi atau dalam Tahafut sendiri, yaitu konsep: Setiap yang baru ada yang menyebabkan. Ini dipakai dan diakui oleh Ghazali. Kausalitas yang dibicarakan ditolak oleh Ghazali adalah sebab-akibat di dunia materi. Seperti api-membakar dan pisau-memotong.

Hubungan 2 kejadian itu menurut Ghazali bukan proposisi dloruri, tapi proposisi Mujarrobaat. Hubungan antara sebab-akibat di dunia materi bukanlah hubungan yang dloruri/pasti setingkat awwaliyyat (seperti kemustahilan kontradiksi.) tapi bukan berarti Ghazali tidak mempercayai hubungan sebab-akibat materi. Bahkan proposisi jenis Mujorrobat (sebab-akibat materi) ini adalah yang ke-3 dari 4 proposisi yang yaqiniyyah shoodiqoh, wajibatul-qobuuli (bersifat yakin, benar, dan harus diterima). Dan proposisi jenis ini bisa dijadikan materi silogisme, kejadian yakinnya mirip dengan khabar mutawatir, yaitu bisa berkadar pasti atau mayoritas.[14]

Perbedaan antara kausalita filosofis dan kausalitas materi (mujarrobat)adalah:

no Nama perbedaan   Persamaan
Media keputusan Sudut pandang    
1 Kausalitas filosofis Akal Dloruri Hubungan itu sendiri   Sama-sama benar, bersifat yakin, dan harus diterima
2 Kausalitas materi (mujarrobat) indra Jazmi atau aktsari hubungan itu dari mana  

 

 

 

Kebenaran menurut Ghazali

Menurut Ghazali kebenaran (العلم اليقيني) hanya bisa diukur dengan akal, tidak dengan indra dan khayalan/imajinasi (wahm).

Ilmu yakin didefinisikan oleh Ghazali dengan: هو الذي ينكشف فيه المعلوم انكشافا لا يبقي معه ريب, و لا يقارنه امكان الغلط[15]. Seperti 3 lebih kecil dari 6, dan 1 orang tdk mungkin berada di 2 tempat dalam masa yg sama[16]. Meskipun ada orang yang mengatakan kebalikan dua pernyataan tadi dengan bukti dia bisa merubah ular menjadi batu, keyakinan atas kebenarannya tidak akan hilang.

Setelah meragukan indra lalu akal, Ghazali menyebutkan dalam Al Munqidz bahwa Cahaya dari Allah telah menempatkannya pada keyakinan. Cahaya disini menurut Dr.Zaqzuq[17] adalah pengetahuan-pengetahuan yang diketahui dengan secara hadas (intuitif, cepat maksudnya dan tanpa argumen) dengan cara belajar rasionalis, tidak hadir begitu saja ke semua manusia, tapi tanda-tandanya yaitu: tidak mungkin diragukan, tidak mungkin diajarkan kepada orang lain tapi hanya bisa dijelaskan bagaimana cara mendapatkannya.

Pengetahuan hadas ini dianggap Ghazali seperti cahaya yang dia gunakan untuk melihat kebenaran pengetahuan yang lain. Panca indra dan indra lain seperti imajinasi hanya dianggap mata-mata yang memberikan kabar pada akal.

Walaupun begitu Ghazali tetap membagi obyek pengetahuan menjadi 2: indrawi dan rasioanal, tapi obyek indrawi selalu mendapatkan pancaran cahaya akal tadi.

Pengetahuan rasioanl ada 2: innate/fithri, tidak diketahui sebab dekatnya tapi sebab jauhnya dipastikan adalah Allah. Dan ke-2 pengetahuan rasional yang dicari dengan argumen.[18] Karena itu menurut Zaqzuq , Ghazali tida seperti John Lock dengan tabula rasanya.

Ghazali secara tidak langsung mengatakan sumber pengetahuan dengan menyebutkan jenis-jenis pengetahuan sesuai dengan tingkat kejelasannya[19]:

  1. Pengetahuan tentang diri, rasa sakit, dan rasa senang.
  2. Pengetahuan tentang kebenaran 2 pernyataan kontradiksi
  3. Pengetahuan inderawi
  4. Pengetahuan dari kabar mutawatir
  5. Pengetahuan dari ungkapan seseorang dan tanda-tanda marah, malu, dan takut orang lain
  6. Pengetahuan untuk membuat, knowledge of how
  7. Pengetahuan tentang teori-teori
  8. Pengetahuan tentang kenabian
  9. Pengetahuan atas mukjizat
  10. Pengetahuan yang didapat dengan taklid

Setelah menyebutkan 10 jenis diatas, Ghazali menyatakan bahwa لكل علم مستند من البديهة و الضرورة, setiap pengetahuan punya sandaran/landasan pada pengetahuan yang dloruri atau intuitif. Ini berarti Ghazali bisa dikelompokkan pada Foundtionalism dalam klasifikasi Epistemologi di Barat.

Batas Pengetahuan

Tentang indra, Ghazali dalam Misykat al Anwar, menyebutkan kelemahan 7 kelemahan indra terkuat, yaitu mata. Kelemahan itu: tidak bisa melihat dirinya, tidak bisa mengenal obyek yang terlalu jauh/dekat, tidak bisa mengenal obyek yang tertutup, hanya bisa mengenal lahiriyah obyek, setiap indra hanya bisa mengenali yang sesuai dengan tugasnya, tidak bisa mengenal obyek yangtak-terbatas, dan ke-7 terkadang tertipu, seperti benda besar terlihat kecil.

semua kelemahan itu bisa dihadapi oleh akal.

Kalau mungkin menyebut kelamahan akal hanya dengan menyebutkan bahwa baik-buruk itu menurut Ghazali bukan hasil dari akal tapi Wahyu.[20]

Baca Al manhaj al alsafi baina Descartes wa Ghazali oleh Dr. Zaqzuq halaman 131 /133 pdf

NOTE:

  1. Kata wujud menurut Ghazali termasuk kata yang Musyakkak bil aula wal ahra dan bi at-taqaddum dan taakkhur,tidak dalam dlu’f wa quwwah (Mi’yar Al ilm hlm. 82/41 pdf).

Tapi dalam Al haqiqoh indal Ghazali hlm.165/82 pdf, menukil dari Ma’arij al Quds karangan Ghazali, dinukil bahwa Ghazali bilang semua sifat Allah bersifat Isytirok tidak tawathu’.


[1] Lihat Philosophical Instructions, oleh Ayatollah M. Taqi Misbah Yazdi, IGCS Binghamton University USA 1999, hlm. 85 dan Dictionary of Philosophy.

[2] Philosophical Instructions, hlm. 87.

[3] Ketiga-tiganya disebutkan dalam pembukaan Ushush al Falsafah oleh Allamah Tabatabai, oleh Ammar Abu Raghif dan dua yang pertama disebutkan dalam Pengantar Filsafat oleh Louis O. Kattsoff terjemahan Soejono Soemargono, Tiara Wacana Yogya 2004, hlm. 74-74

[4] Al Mankhul min Ta’liqat al Ushul, oleh Ghazali, editan M. Hasan Hito, hlm. 40

[5] Mi’ya al Ilm, Ghazali, hlm. 76. Mungkin apa yang disebutkan Ghazali di halaman 76 ini bisa dikatakan sebagaimana apa yang dikatakan oleh Sadrian yang mengatakan bahwa Ilmu itu takterdefinisikan dan apabila ada definisi disebutkan itu hanya difungsikan untuk membedakan denotasi/instansinya dan juga karakternya, lihat misalnya Bidayah al Hidayah oleh Allamah Tabatabai dalam bab Marhalah 11 dan Philosophical Instructions oleh M.T.M Yazdi dalam Bab Epistemology, hlm. 90-91

[6] Al Munqidz, Ghazali, cet.6, Dar Andalus Beirut, hlm. 65-68

[7] Mi’yar al ‘Ilm (bagian Mantiq dari Tahafut al Falasifah), oleh Ghazali, editan Dr. Sulaiman Dunya (sisten profesor fakultas Ushuluddin), Dar Al Ma’arif Mesir 1961, hlm. 89-90

[8] Mankhul hlm. 51. Menarik untuk mengetahui bahwa ada ilmu/pengetahuan yang didapat tanpa perantara ini dan isinya adalah diri dan sifat-sifatnya karena ke-2 jenis pengetahuan ini memang dalam Sadrian tanpa alat dan disebut sebagai ilm hudluri, meski bisa juga didapat dengan ilm hushuli setelahnya. Lihat komentar Murtaza Muthahhari atas Ushul al Falsafah milik Allamah Tabatabai terjemahan Ammar Abu Raghif, hlm. 341

[9]  Lihat Al Haqiqoh fi Nazhor al Ghazali, oleh Dr. Sulaiman Dunya, Dar Al Ma’arif Mesir 1965, hlm. 38-40 dan Al Munqidz dalam pembahasan Filosof dan Al Manhaj al Falsafi: baina Ghazali wa Descartes, oleh Dr.Mahmud Hamdi Zaqzuq, Dar Al Ma’arif Kairo 1997, hlm. 51 dan 60

[10] Mi’yar al Ilm,  Ghazali, Mesir, hlm. 62.

[11] Mi’’yar, hlm. 90-92

[12] Al Manhaj, Zaqzuq, hlm. 138 menukil dari beberapa buku Ghazali diantaranya Mi’yar al Ilm hlm. 63.

[13] Al Manhaj, hlm. 136

[14] Lihat Mi’yar al Ilm hlm. 186-191

[15] Al Munqidz, Ghazali, hlm. 64

[16] Definisi ini memasukkan Ghazali dalam kelompok Rasional dalam Epistemologi sebagaimana klasifikasi dalam Pengantar Filsafat oleh Louis O. Katsoff hlm. 136-7 bahwa Rasionalis adalah yang mendefinisikan kebenaran dengan, ‘Kemustahilan untuk mengingkari atau untuk dipahamkan sebaliknya.’

[17] Al Manhaj Al Falsafi hlm. 105-109. Penafsiran Dr. Zaqzuq atas kata Cahaya dari Allah yang menyebabkan keyakinan Ghazali kembali dengan Pengtahuan-pengetahuan yang intuitif yang benar ini mirip kebenaran rasionalis yang digambarkan sebagai cahaya yang terang dari akal budi oleh Louis O. Katsoff dalam Pengantar Filsafat hlm. 135

[18]  al manhaj al falsafi inda descartes wa ghazali, hlm. 135-6

[19] Dalam Al-Ghazali: A Study on Islamic Epistemolgy, by Mustafa Abu-Sway, Kuala Lumpur, 1996, hlm. 43-52

[20]  Lihat Mi’yar al Ilm

PSK Syariah

PSK Syari’ah
“Solusinya adalah Syari’ah.”
Pendahuluan
Pekerja Seks Komersial, sebuah nama yang sudah semstinya. Sebuah pekerjaan diantara pekerjaan lainnya. Tentu Islam sebagai agama yang mengatur segalanya, mempunyai aturan yang harus ditaati dalam menjalankan pekerjaan ini. Maka muncullah ide tentang PSK yang sesuai dengan syari’ah, ya PSK Syari’ah. Sebagaimana bentuk perdagangan lain yang sekarang sudah mulai menganut sistem syariah atau aturan Islami seperti Bank syari’ah, Pegadaian syari’ah dll, maka sudah selayaknya PSK termasuk yang mengikuti Syari’ah.
Kronologi Konsep
Untuk sebuah pengakuan atas karya intelektual seseorang, ide tentang ini muncul dari salah satu tokoh dalam novel yang pernah diekspos dalam acara Kick Andy, yaitu Lima Menara. Ide itu lalu sampai dan didukung oleh seorang ulama Singapura yang telah lama berdakwah di Indonesia. Tulisan ini dibuat setelah pembicaraan serius sehabis solat Subuh di Iran Corner UIN SGD Bandung oleh beberapa elemen yang cukup mewakili Islam Inonesia dan cukup mempunyai kredibilitas untuk membahas hal ini, yaitu:
– Kiai muda dari Cileduk Tangerang Banten
– Ustaz dari Citayem Depok Jawa Barat
– Santri pesantren Gus Dur Ciganjur Depok
– Alumni pesantren An-Nuqayyah Sumenep Madura
– Santri kajian Paramadina
– Mahasiswa Islamic Studies
– Alumni pesantren Langitan Tuban Jawa Timur
– Alumni pesantren Matholiul Falah Kajen Pati Jawa Tengah
– Alumni dan pernah mengajar di pesantren Nurul Amin Karawang Jawa Barat
– Alumni pesantren Roudlotul Muta’allimin Kudus Jawa Tengah
– Pengikut tarekat Syaikh Kabbani dari Pondok Pinang Jakarta Selatan
– Kader HTI Ciputat Tangerang Selatan Banten
– Dan didukung oleh toko buku Islami Ar-Rosyid yang memilik cabang di UIN Syarif Jakarta dan UMJ
– Aktifis LSM Center for Economy and Democracy Studies, bagian pemberdayaan perempuan , Utan Kayu Jakarta Timur
– Anggota Kajian Perempuan Piramida Circle Ciputat Tangerang Selatan Banten
Kia muda dari Cileduk sempat beberapa kali mengingatkan bahwa hal ini benar-benar didasarkan akan keinginan untuk mendapatkan kebahagian dan keselamatan fi ad-dunya wa al akhiroh. Begitu juga wakil dari toko buku Islami ar-Rosyid yang juga pengikut tarekat Sa’id Nursi dari Turki, mengingatkan bahwa hal ini dilakukan atas dasar memahami kasih sayang ilahiyyah yang selalu hadir di hati kita sebagai makhluk Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang.
Kritik bahwa konsep PSK Syar’i sebagai hal yang dipaksakan sempat dilontarkan, namun akhirnya bisa diterima dengan alasan bahwa Islam mencakup aturan segala hal dan melihat konsep-konsep syari’ah dalam beberapa lembaga modern yang sudah diterima dan memang disesuaikan dengan syariah. Seperti Bank, pegadaian, dll.

Kenapa Pekerjaan Seks Komersial Non-Syar’i ?
Zina adalah dosa besar dalam Islam. Maqoshid Asy-Syariahnya adalah hifz an-nasl atau menjaga keturunan, maksudnya kehidupan sebuah keturunan yang mencakup nafkah, pendidikan, dan tanggung jawab. Pekerjaa Seks Komersial (selanjutnya ditulis PSK), sudah lazim menjauhi sebisanya lahirnya seorang anak. Karena hal itu bisa mengganggu keberlangsunganpekerjaan jasa seks tersebut. Jadi tanggung jawab dan nafkah hanya antara si pekerja dan pemakai jasa saja, tidak dalam hal anak. Maka apabila akad, mahar, saksi atau syarat sah penikahan dalam Islam sudah dijalankan, sah dan halal-lah pekerjaan seks ini.
Permasalahan yang biasanya muncul dan dianggap tidak syar’i adalah masalah waktu pemakaian jasa seks dan wali bagi perempuan. Saksi akad ini biasanya dilakukan oleh germo atau satpam-satpam, dan bisa juga oleh tamu lain atau teman se-pekerjaan. Saksi bukanlah hal sulit dicari dalam hal ini.

Solusi Syar’i
– Wali
Dalam hal wali,maka kita bisa menggunakan mazhab Hanafi atau Ja’fari yang memperbolehkan perempuan dewasa menikahkan dirinya sendiri. Dan mengingat juga ada orangtua yang memang mengizinkan anaknya melakukan pekerjaan itu.
– Waktu
Masalah yang agak berat adalah tentang waktu pemakaian. Karena dalam fikih Syafi’i atau yang dikenal di Indonesia, penggunaan jasa seks (baca: nikah) itu tidak boleh dibatasi waktu. Tapi Syafi’iiyah mensah-kan akat pemakaian jasa seks dengan waktu ditentukan, apabila tidak disebut dalam akat. Tapi terjadi dengan tahu-sama tahu. Seperti dijelaskan dalam buku fikih Syafi’iyah I’anat at-Tholibin dalam bab Munakahat.
Solusi lainnya adalah mengadopsi fikih Ja’fari yang memperbolehkan penggunaan jasa seks (baca: nikah) dalam waktu yang ditentukan, meski disebut dalam akat.

Tambahan
Masalah yang muncul adalah tentang talfiiq, yaitu pengadopsian beberapa mazhab dalam satu akat. Tapi kalangan modernis seperti HTI menolak bahwa hal itu sebagai masalah. Karena HTI yang mempunyai cita-cita menyatukan Islam tentu akan mengadopsi aliran fikih yang ada. Meskipun dalam satu akat. Alasan lainnya adalah bahwa talffiq ini tidak dilarang oleh Asy-Sya’roni –seorang intelektual Syafi’iyah- dalam bukunya Mizan al Kubro. Begitu juga tokoh modernis bekas tokoh Ikhwan, Dr. Yusuf Qordlowi dalam bukunya As-Siysah al Islamiyah. Muridnya menjelaskan karena memang tidak larangan tentang hal itu dalam Qur’an dan Hadis.
Masalah lain adalah tentang penyakit yang menular dengan melakukan hubungan seks. Tentu hal ini bisa ditanggulangi pertama dengan kondom dan fasilitas pondok PSK Syar’i dalam bidang kesehatan.
Penutup
Untuk menambah nilai Islaminya, Kiai muda dari Cileduk mengusulkan adanya pendidikan seperti bisa ngaji al Qur’an dan hafal hadis sejumlah 40 bagi para pekerja dalam pondok (baca: lokalisasi) PSK Syar’i tersebut.
Konsep PSK Syari’ah yang bisa juga disebut PSK Islami ini diharapkan menjadi sumbangan intellektual yang bermanfaat dalam kehidupan real. Dan para peserta diskusi diatas tetap membuka sumbangsih dan atau kritikan untuk menuju kebaikan dan ridlo Allah SWT tanpa ada buruk sangka.
Wassalamu’alaikum.
Bandu ng, 24 Desember 2010

stupid direction

‘Stupid’ Direction

Ini adalah kejadian yang menggelikan kalau saya mengingatnya, meski di saat yang berbeda. Kejadian ini terjadi di kelas filsafat di suatu kampus.

Arahan 1.

Dosen: Coba kalian pejamkan mata kalian dan bayangkan bahwa kalian tidak mempunya tubuh, lalu jawab pertanyaan saya.

Guru itu lalu berjalan ke kursi mahasiswa-mahasiswa dan mulai menanyai satu persatu. Gadis imut yang tak biasa berkerudung dan dipaksa berkerudung di kampus Islam  mendapat giliran pertama.

Dosen: Siapa kamu ? katanya.

Gadis itu tersenyum-senyum sambil mengrenyitkan dahi dan matanya, lalu menjawab: Aku adalah…boneka!

Teman-temannya pun ketawa dan nam[pak kekecewaan di wajah dosen itu. Lalu dia mendekati cowok yang senyum-senyum mendengar jawaban itu.

Dosen: Pertanyaan yang sama, Siapa kamu ?

‘Superman’, jawab cowok itu. Dosen Nampak kebingungan dan mencari mangsa yang lain. Mahasiswa ketiga ternyata menjawab dengan: Saya dokter.

Dengan putus asa lalu dosen itu maju ke depan dan menjelaskan, ‘kalian jawabnya biasa aja. Jangan aneh-aneh begitu. Jawab siapa nama kalian…!’

Mahasiswa-mahasiswa itu Nampak kebingungan dan ada yang membuka mulutnya lebar-lebar yang berbunyi: Oo…. Tapi mata kosongnya menunjukkan ketidak-pahamannya.

Its stupidity.

Arahan itu sebenarnya untuk mengarahkan mahasiswa untuk mengakui sebuah konsep filsafat yang telah menjadi dogmatis dalam kampus itu, yaitu: bahwa ada substansi non materi, terutama yang disebut dengan ‘Diri’ atau ‘Aku’ dalam tiap orang.

Ternyata arahan yang dimaksudkan agar dogma itu itu masuk dalam otak mahasiswa dengan bentuk eksperimen mahasiswa sendiri ternyata gagal dalam prakteknya. Lalu terpaksa bentuk dogma biasa dimasukkan oleh dosen itu. Meski dengan tantangan siapa yang bias menolak dogma itu.

Arahan 2.

Dosen: Apa definisi atau yang kamu pahami tentang ‘beruntung’ atau lucky ? tanyanya ke mahasiswa yang duduk tepat didepannya.

‘Lucky itu adalah mendapatkan hasil bagus yang tidak dipertimbangkan’ jawab mahasiswa cerdas itu.

Dosen itu menundukkan kepala beberapa saat lalu mengarahkan matanya kepada mahasiswa lain dan bertanya, ‘Apa menurut kamu ?’ sambil menunjuk gadis berkerudung, berkacamata, dan berpakaian skesi.

Gadis itu bergerak-gerak seperti kebingungan lalu tersenyum dan menjawab, ‘Beruntung itu ya.., mendapatkan keuntungan yang tidak dinyana-nyana.’

Dosen itu Nampak kecewa dan lalu menjelaskan, ‘bla bla, bla……’

Its stupidity

Arahan itu sebenarnya untuk memberikan sebuah konsep tentang keberuntungan dalam aliran filsafat tertentu yang telah menjadi dogma di kampus itu. Dogma itu adalah bahwa keberuntungan itu tidak ada/tidak nyata.

Dogma itu sebenarnya didasarkan pada kepercayaan pada kausalitas atau bahwa sesuatu terjadi pasti disebabkan oleh sesuatu. Dan ;ucky dianggap sebagai sesuatu yang terjadi tanpa sebab. Jadi dalam dogma itu diajarkan bahwa lucky itu mustahil terjadi.

Arahan ternyata tidak mengarah kesitu.

Hikmah atau illat

الإسم

العلة

الحكمة (التي أشترطت ان يشتمل العلة عليها )

الحكمة (المضبوطة بالعلة)

المناسب (يؤخذ من المناسبة التي هي خامس العشرة من مسالك العلة)

المقاصد

التعريف

المعرف/ علامة (231)

المصلحة: جلب/تكميل مصلحة او دفع/تقليل مفسدة (236)

الوصف المناسب (236)

الملائم لأفعال العقلاء (274)

وهو المناسب من حيث شرع الحكم له او من حيث نفسه (280)

المثال

الإسكار في النبيذ (231)

حفظ النفوس في حكم القصاص بعلة القتل العمد (237)

العمدية في القتل

و المشقة في جواز القصر (236)

الإنزجار من القتل (276)

ضروري (حفظ الدين، فالنفس، فالعقل، فالنسب، فالمال والعرض)

فحاجي

فتحسيني

البيان

يشترط: وصفي, حقيقي, ظاهر, منضبط (234)

ترتب علي الحكم بسبب تلك العلة، هذه الحكمة (236)

قيل يجوز ان تكون علة إن انضبطت (236-8)

من حيث اللفظ يشابه تاليه، ولكن التعليقات يشبهه بتالي تاليه اي حفظ النفوس (276)

ومن حيث إعتبار الحكم هو ثلاثة أقسام: المؤثر، الملغي،

و المرسل الذي يسمي أيضا بالمصالح المرسلة والإستصلاح (284)

This understanding is about what I call ‘ratio’ of laws in Principles of Jurisprudences. This can avoid or help us to talk or discuss about the reformation or the same in Islamic laws.

meaning atau dilalah

Dilalah atau Makna

Mengetahui makna sebuah kata adalah hal yang penting dalam agama yang memiliki kitab suci. Meskipun mungkin menurut saya juga penting dalam memahami hukum konstitusi yang tertulis. Tapi sayang yang saya tulis dibawah ini adalah kajian klasik dari Islam tentang makna sebuah teks, yang tentu duhubungkan dengan bahasa arab yang merupakan bahasa teks suci dalam islam.

Pembahasan seperti ini masuk dalam subyek Ushul Fikih dalam literatur Islam. Dibawah ini adalah usaha untuk menulis dan memahami lebih dalam selanjutnya, semoga, apa yang telah saya dapat dari bacaan saya. Ilmu Ushul fikih mempunyai banyak aliran sebagaimana aliran fikih itu sendiri, meskipun perbedaannya tidak selebar dan seluas Fikih.

Dibawah ini akan disebutkan pandangan Hanafiyah dan Syafi’iyah dalam makna atau dilalah:

Dilalah menurut mazhab Hanafiyah ada 4:

  1. Ibaroh nash: makna eksplisit, maksud asli, makan elementer.
  2. Isyaroh nash: implisit, taabi’, sekunder yang didapat melalui isyarat/tanda.
  3. Dilalah nash: meaning, didapat dari ‘illat’/spirit teks. Ini mungkin bisa dimasukkan dalam qiyas dalam Syafi’iyah.
  4. Iqtidlo’ nash: Makan yang tidak ada dalam teks. Ini didapat untuk menyempurnakan makna asli teks.

Menurut Syafi’iyah dilalah ada 2:

  1. Dilalah manthuq: makan tertulis/ eksplisit.
  2. Dilalah mafhum: makna yang dinyatakan secara tidak langsung oleh teks.

Dilalah mafhum ada 2: muwafaqoh dan mukholafah.

Disini saya juga inngin sedikit menyebutkan bahwa Maqoosid as-syari’ah yang sering duganakan oleh kalangan Liberal Islam untuk mendasarkan dan mengembalikan semua hukum Islam diatasnya adalah dimulai pertama oleh Turmuzi (abad 3 H) dalam Ash-Sholat wa Maqoosiduha à Maturidi (333 H) –> Abu Bakar Qaffal (365 H)à Baqillany (403 H) à Ghazali (505 H) à dan puncaknya pada Asy-Syathibi (Spanyol 790 H/ 1380 M).

Tetapi Liberal Islam menggunakan konsep ulama klasik ini dengan cara berbeda dengan yang ditetapkan dalam buku-buku Ushul Fikih mereka itu diantaranya dalam:

  1. Ulama klasik memberikan Maqosid asy-syari’ah itu urutan gradasi dalam 5 Maqosid itu. Urutannya adalah: Allah/agama, akal, hidup, keturunan, dan kehormatan. Liberal menafikan urutan bergradasi ini atau bahkan menghilangkan agama/Allah dalam tujuan hukum. Karena Allah dianggap tidak membutuhkan sesuatu dan hukum syariat hanya untuk manfaat manusia.
  2. Pengertian klasik atas Maqosid adalah bahwa hukum ditetapkan oleh Allah untuk menjaga 5 hal diatas dalam hal selamat atau dalam bebas dari kejelekan. Tetapi Liberal mengambil pengertian bahwa seseorang itu bebas untuk melakukan sesuatu dalam 5 hal itu. Kalau tidak salah ini adalah perbedaan dengan istilah Inggris, antara Freedom from dan freedom to. Liberal mengambil yang terakhir.
  3. Liberal menggunakan 5 hal tadi sebagai dasar pokok dibuatnya sebuah hukum Islam. Jadi apabila ada sebuah hukum yang dianggap tidak bisa lagi memenuhi tujuan/maqosid 5 tadi, maka hukum itu dihapus dan diganti dengan yang bisa memenuhi.

Klasik tidak menggunakan Maqosid ini ini seperti itu. Pertama, Maqasid ini tetap diambil dari setiap hukum tertentu dan dipahami dari teks (lihat misalnya Muwafaqot juz 2 hal. 275). Kedua, klasik tidak berani merubah suatu hukum yang sudah ditentukan walaupun sudah dianggap tidak bisa memenuhi 5 maqosid itu. Meski beberapa ulama klasik berani merubah tetapi tidak dalam masalah yang dianggap ubudiyyat.

Wael B. Hallaq pakar Ushul Fikih dari Mcgill University Kanada mengatakan bahwa Liberalisme dalam penggunaan Maqosid ini bisa disebut sebagai aliran ‘Utilitarianisme Religius’. Hal itu disebutkan Wael dalam bukunya Sejarah Teori Hukum Islam: Pengantar Usl Fiqh Suni hal. 318-344.

ijasah formal

Ijazah Pendidikan Formal

Dua orang pemuda itu kelihatan serius berbicara dengan santai.

‘Kenapa kampus kita begitu ketakutan ketika mahasiswanya mempersoalkan status legalnya di mata pemerintah Indonesia? Sehingga ijazah nya bisa diakui untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih lanjut?’ kata si kurus.

Si Peyang menjawab, ‘Karena itu memang perlu. Bukankah kamu juga ingin melanjutkan pendidikan kamu?’

Kurus berpikir sejenak membayangkan cita-citanya untuk menjadi seorang profesor di bidang apapun entah. Lalu dia berkata, ‘Tapi kenapa pemerintah begitu mempersulit hal itu? Bukankah pengetahuan sudah didapatkan secara formal dengan masuk kelas tiap hari?’

‘Indonesia itu memang tidak memperhatikan pengetahuan, yang penting pendidikan formal. Banyak sekolah non-formal yang tidak diakui ijazahnya atau dianggap kurang bergengsi kan? seperti pesantren.’ Jawab Peyang.

‘Lalu kenapa mereka menarik biaya yang begitu mahal/ sekolah gratis itu hanya iklan, seperti iklan pulsa murah saja.’ Kurus agak mengangkat suaranya. ‘Kenapa cara memberikan pengetahuan secara murah seperti di pesantren itu tidak diadopsi oleh pemerintah untuk memberikan ijazah formal? Dengan mengubah materi pelajaran dan guru yang tetap pegawai negeri misalnya.’ lanjut Kurus.

‘iya, apa pemerintah tidak sepintar kamu ya?’

Kurus nampak bingung. Temennya ini ingin mengolok-oloknya atau pemeritah? Kalau keadaannya sendiri dia tahu, tapi pemerintah? Kenapa jalan aspal di depan rumahnya baru 2 bulan sudah hancur saja, Kurus tidak tahu bagimana pemerintah kok sebodoh itu. Pegawai negeri itu padahal sekolah formal semuanya.